Senin, 16 April 2012

pls

A. Teori Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan
mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan
perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu.. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.

Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons
akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan
yang terjadi antara Stimulus- Respons.



Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari
pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang
mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.



Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering
dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :



Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara
simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.



Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui
Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-
hukum belajar, diantaranya :



Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan meningkat.



Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak
diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa
efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan
oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti
dalam classical conditioning.

4. Social Learning menurut Albert Bandura

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru
dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang
Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul
sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini,
bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian
contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan
punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang
menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang
menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak
serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan
pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang

2

tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1)
sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang
proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa
asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean
changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by
the process of assimilation”

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta
didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan
kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari
lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan
bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak
agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3.

Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

4.

Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5.

Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses
penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan
informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu
keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu.
Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.

Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4)
penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

D. Teori Belajar Gestalt

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt
adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut
Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan
dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna
dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi
kekaburan penafsiran antara latar dan figure.

2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang
pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.

3.

Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang
saling memiliki.

4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama
cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.

5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana,
penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan;
dan

3

6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang
tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:

1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular”
adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku
dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa
perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.

2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan
behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk
pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan
behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan
geografis).

3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi
terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo,
pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau
binatang tertentu.

4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan
sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran
terhadap rangsangan yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :

1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses
pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-
unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.

2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang
pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu
yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan
pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas
dan logis dengan proses kehidupannya.

3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat
hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran
akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya
menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.

4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada.
Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan
kehidupan peserta didik.

5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain.
Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi
dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian
menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah
menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan
dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk
menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

E. Ausubel : Teori Belajar Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang
bermakna.
Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada

4

di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk
siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut
Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru
dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada
dalam struktur kognisi siswa.

Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: Advance
organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation.

F. Teori Belajar MENURUT PRIBADI MUNGKIN

Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara
guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Namun teori
belajar ini tidak-lah semudah yang dikira, dalam prosesnya teori belajar ini membutuhkan berbagai sumber sarana yang
dapat menunjang, seperti : lingkungan siswa, kondisi psikologi siswa, perbedaan tingkat kecerdasan siswa. Semua unsure
ini dapat dijadikan bahan acuan untuk menciptakan suatu model teori belajar yang dianggap cocok, tidak perlu terpaku
dengan kurikulum yang ada asalkan tujuan dari teori belajar ini sama dengan tujuan pendidikan.

Teori belajar aktif Dave Meier

Belakangan ini ada sebuah teori belajar aktif yang dinamakan teori holistik. Dave Meier dalam bukunya The Accelerated
Learning Handbook (Kaifa, 2002), mengemukakan bahwa konsep guru mengenai siapa manusia yang diajarinya (murid)
menentukan sekali terhadap kegiatan belajar yang direncanakan dan dikelolanya. Meier mengkritik kecenderungan pendidikan
di Barat yang memandang manusia hanya sebagai tubuh dan pikiran. Aktivitas tubuh dan pikiran dipisahkan dalam kegiatan
belajar. Pembelajaran sangat kaku. Selain itu pembelajaran individual amat ditekankan. Cara berpikir ilmiah pun sangat
diutamakan. Peranan media cetak dalam belajar seperti buku sumber utama sangat ditekankan.

Dari penelitiannya, Dave Meier berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi yakni: tubuh atau somatis (S),
pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan pemikiran atau intelek (I). Bertolak dari pandangan ini ia
mengajukan model pembelajaran aktif yang disingkat SAVI – somatis, auditori, visual dan intelektual. Dengan pemahaman ini
beliau mengajukan sejumlah prinsip pokok dalam belajar, yakni:

1 – Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran

2 – Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.

3 – Kerjasama membantu proses belajar.

4 – Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.

5 – Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.

6 – Emosi positif sangat membantu pembelajaran.

7 – Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.

Sekarang, marilah kita simak pokok-pokok pikiran Meier, bagaimana prinsip kegiatan belajar berdasarkan prinsip SAVI itu.

Pertama, belajar somatis, belajar dengan bergerak dan berbuat. Apa sajakah yang dapat dilakukan? Jawabnya ialah:

* Membuat model dalam suatu proses.

* Secara fisik menggerakkan berbagai komponen dalam suatu proses atau sistem

* Menciptakan bagan, diagram, piktogram.

5

* Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep.

* Mendapatkan pengalaman, lalu membicarakannya dan merefleksikannya.

* Melengkapi suatu proyek yang memerlukan kegiatan fisik.

* Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain)

* Melakukan tinjauan lapangan. Lalu menuliskan, menggembar dan membicarakan apa yang dipelajari.

* Mewawancarai orang di luar kelas.

* Dalam tim, menciptakan pelatihan pembelajaran aktif bagi seluruh kelas.

Kedua, belajar auditori (A), kegiatan mendengar dan berbicara. Apa saja yang dilakukan dalam kegiatan?

* Membaca keras dari bahan sumber.

* Membaca paragraf dan memberikan maknanya.

* Membuat rekaman suara sendiri.

* Menceritakan buku yang dibaca.

* Membicarakan apa yang dipelajari dan bagaimana menerapkannya.

* Meminta pelajar memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang dilakukan.

* Bersama-sama membaca puisi, menyanyi.

Ketiga, belajar visual (V), kegiatan melihat, mengamati, memperhatikan. Apa sajakah kegiatan dalam pendekatan ini?

* Mengamati gambar dan memaknainya.

* Memperhatikan grafik atau membuatnya

* Melihat benda tiga dimensi.

* Menonton video, film.

* Kreasi piktogram

* Pengamatan lapangan

* Dekorasi warna-warni

Keempat, belajar intelektual (I), kegiatan mencipta, merenungkan, memaknai, memecahkan masalah. Ada sejumlah kegiatan
terkait dengan pendekatan ini, antara lain:

* Pemecahan masalah

* Menganalisis pengalaman, kasus

* Mengerjakan rencana strategis

* Melahirkan gagasan kreatif

* Mencari dan menjaring informasi

6

* Merumuskan pertanyaan

* Menciptakan model mental

* Menerapkan gagasan bagus pada pekerjaan.

* Menciptakan makna pribadi Meramalkan implikasi suatu gagasan.

ROESEFFENDI

Teori belajar atau teori perkembangan mental menurut Ruseffendi (1988) adalah berisi uraian tentang apa yang terjadi dan
apa yang diharapkan terjadi terhadap mental peserta didik. Sementara itu, pengertian tentang belajar itu sendiri berbeda-beda
menurut teori belajar yang dianut seseorang. Menurut pandangan yang tradisional atau pendapat lama, bahwa belajar adalah
menambah atau mengumpulkan sejumlah pengetahuan. Peserta didik diibaratkan sebagai botol kosong yang siap diisi hingga
penuh dengan berbagai pengetahuan. Selain itu, peserta didik diberikan bermacam-macam materi pelajaran dalam rangka
memperoleh pengetahuan baru atau menambah pengetahuan yang telah dimilikinya (Sihotang, 1997). Pendapat yang lebih
modern menganggap bahwa belajar merupakan kegiatan mental seseorang sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Perubahan
tersebut dapat dilihat ketika siswa memperlihatkan tingkah laku baru, yang berbeda dari tingkah laku sebelumnya. Selain itu,
perubahan tingkah laku tersebut dapat dilihat ketika seseorang memberi respons yang baru pada situasi yang baru (Gledler,
1986) Hudoyo (1998) menyatakan bahwa belajar adalah kegiatan yang berlangsung dalam mental seseorang, sehingga terjadi
perubahan tingkah laku, di mana perubahan tingkah laku tersebut bergantung kepada pengalaman seseorang.

Teori Belajar Piaget dan Pandangan Konstruktivisme

Teori belajar atau teori perkembangan mental Piaget biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif. Teori belajar yang dikemukakan oleh Piaget tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,
yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual tersebut
dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi pengetahuan. Misalnya pada tahap sensori motor anak berpikir
melalui gerak atau perbuatan (Ruseffendi, 1988). Dalam kaitannya dengan teori belajar konstruktivisme, Piaget yang dikenal
sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989) menegaskan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Selanjutnya,
timbul pertanyaan bagaimanakah cara anak membangun pengetahuan tersebut? Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, akan tetapi melalui tindakan. Perkembangan kognitif anak bahkan
bergantung kepada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Adaptasi terhadap
lingkungan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi (Nur, 1998; Poedjiadi, 1999). Asimilasi adalah penyerapan
informasi baru dalam pikiran. Sementara akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga dengan demikian informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi, 1988). Akomodasi dapat juga diartikan
sebagai proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut (Suparno, 1996).Pandangan dari kalangan konstruktivistik
yang lebih mutakhir, yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam
pikiran seseorang dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Dalam hal ini, belajar
merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan
sekedar tersusun secara hirarkis. Belajar merupakan proses membangun atau mengkonstruksi pemahaman sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki seseorang (Hudoyo, 1998). Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu
aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor extern atau lingkungan
sehingga melahirkan suatu perubahan tingkah laku (Hamzah, 2003).Berbeda dengan konstruktivisme kognitif ala Piaget,
konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky menekankan bahwa, belajar dilakukan dengan interaksi terhadap
lingkungan sosial maupun fisik seseorang.

Teori Belajar Jerome S. Bruner

Seperti kita ketahui bahwa Bruner yang terkenal dengan pendekatan penemuannya, membagi perkembangan intelektual anak
dalam tiga kategori, yaitu enaktif, ikonik dan simbolik (Ruseffendi, 1988). Penjelasan lain, (Dahar, 1989) mengemukakan
bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi
informasi dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Bruner mengemukakan 4 dalil yang penting dalam pembelajaran
matematika. Keempat dalil tersebut adalah: (1) dalil penyusunan (construction theorem), (2) dalil notasi (notation theorem),
(3) dalil pengkontrasan dan keaneka ragaman (contrast and variation theorem) dan (4) dalil pengaitan (connectivity theorem).
Namun demikian, di antara dalil-dalil yang paling erat kaitannya dengan pembelajaran matematika dengan pendekatan
pengajuan masalah adalah dalil penyusunan dan dalil pengaitan (Ruseffendi, 1988).

Dalil Penyusunan

7

Konsep dalam matematika akan lebih bermakna jika siswa mempelajarinya melalui penyusunan representasi obyek yang
dimaksud dan dilakukan secara langsung. Misalnya, jika seorang guru menjelaskan arti 9 (sembilan), maka seyogianya guru
meminta siswa untuk menyajikan sebuah himpunan yang jumlah anggotanya sembilan. Bahkan akan lebih baik jika pada
kelas-kelas rendah sekolah dasar, guru terlebih dahulu meminta siswa untuk mengambil sendiri sembarang sembilan benda
kongkrit yang disenangi siswa. Misalnya, siswa mengambil sembilan buku atau pinsil.Selanjutnya untuk menunjukkan
representasi 4 + 3, guru menuntun siswa untuk melakukan dua langkah penyusunan yang terurut. Pertama siswa mengambil
empat obyek atau benda konkrit. Sesudah itu, siswa mengambil lagi tiga obyek yang kedua lalu menyusunnya pada garis
bilangan. Istilah lain dari cara belajar seperti di atas adalah pengembangan kategori atau pengembangan sistem pengkodean
(coding), di mana sasarannya adalah mengubah kategori atau model tertentu. Hal ini terjadi dengan cara mengubah kategori
atau menghubungkan kategori-kategori dengan suatu cara baru atau dengan menambah kategori baru (Dahar, 1989).Dari
beberapa pandangan tentang dalil penyusunan Bruner, maka dapat disimpulkan bahwa siswa hendaknya belajar melalui
partisipasi aktif dalam memahami konsep, prinsip, aturan dan teori. Hal ini dapat diperoleh melalui pengalaman dalam
melakukan eksperimen atau percobaan yang memungkinkan siswa untuk memahami konsep, prinsip, aturan dan teori itu
sendiri. Pada akhirnya Bruner menunjukkan beberapa keutamaan tentang pengetahuan yang diperoleh dengan cara penemuan.
Keutamaan pertama adalah pengetahuan bertahan lama dan lebih mudah diingat bila dibandingkan dengan pengetahuan yang
diperoleh dengan cara lain. Selain itu, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil belajar
lainnya. Dengan kata lain konsep atau prinsip yang menjadi milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi
baru. Secara menyeluruh, belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran dan kemampuan siswa untuk berpikir secara bebas
(Dahar, 1989). Akibat dari keunggulan belajar penemuan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa teori belajar
penemuan dapat membantu siswa dalam mempercepat proses keingintahuan suatu konsep atau prinsip tertentu

Dalil Pengaitan

Materi dalam pelajaran matematika dikenal dengan hirarki yang sangat ketat. Suatu topik akan menjadi sulit dipahami oleh
siswa manakala belum menguasai materi prasarat yang dibutuhkan. Dengan kata lain bahwa kaitan antara satu konsep dengan
konsep yang lain, satu dalil dengan dalil yang lain, satu topik dengan topik yang lain dan satu teori dengan teori yang lain
sangat erat. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa siswa harus diberi kesempatan sebanyak-banyaknya dalam melihat atau
mengkaji kaitan antara suatu topik dengan topik yang lain atau satu konsep dengan konsep yang lain, yang dipelajarinya.
Perhatikan contoh berikut yang mengkaji kaitan antar hirarki dan konsep dalam pembelajaran topik fungsi linier. Pada tingkat
sekolah dasar topik ini diperkenalkan melalui lambang yang sederhana yang anak-anak sudah kenal, yaitu misalnya
= 5Ο +
3. Pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), pembelajaran topik ini, bukan lagi dengan simbol seperti di atas, akan
tetapi sudah dapat diajarkan dengan bentuk y = 5x + 3, di mana x ∈ {…, -3, -2, -1, 0, , 2, 3, …}. Sedangkan pada tingkat
Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), topik tersebut ditulis atau diajarkan dalam bentuk f(x) = 5x + 3, x adalah bilangan nyata (real).
Untuk mengajarkannya pada tingkat Perguruan Tinggi (PT), tentu lebih mendalam lagi, yaitu menggunakan istilah daerah
definisi dan daerah hasil fungsi yang ditulis dalam bentuk simbol yang lebih abstrak dan universal, yaitu f (x) = 5x + 3, x ∈
R.Dalil pengaitan yang dikemukakan oleh Bruner erat kaitannya dengan apa disebut mathematical connection dalam
curriculum and evaluation standard for school mathematics. Di dalam kurikulum tersebut, ditekankan kepada siswa agar
mampu mengkaji dan menerapkan kaitan antara topik-topik matematika dan aplikasinya. Implikasi dari pernyataan tersebut
adalah agar siswa dapat: (1) memahami representasi keekivalenan konsep yang sama, (2) menghubungkan prosedur satu
representasi ke representasi yang ekivalen, (3) menggunakan dan menghargai kaitan antara topik matematika, dan (4)
menggunakan dan menghargai kaitan matematika dengan disiplin lain (NCTM, 1989).Kaitan antara teori belajar Bruner
dengan pendekatan pengajuan masalah matematika dapat dilakukan dengan cara melibatkan siswa secara aktif untuk
mengkonstruksi dan mengajukan masalah, soal, atau pertanyaan matematika sesuai dengan situasi yang diberikan. Misalnya,
siswa menyusun dan mengaitkan ide-ide yang disediakan dengan skemata yang dimiliki oleh siswa.Pengajuan masalah dapat
dilakukan oleh siswa baik secara individu, berpasangan atau berkelompok. Ketiga cara tersebut dapat menjadi penghubung
antara topik yang diajarkan oleh guru dengan skemata yang dimiliki oleh siswa. Selain itu, menurut Silver dan Cai (1996)
bahwa hubungan tersebut penting artinya dalam meningkatkan kemampuan siswa mengajukan dan memecahkan masalah.

Teori Belajar Robert M. Gane

Pandangan Gagne tentang belajar dikelompokkan menjadi 8 tipe. Kedelapan tipe tersebut adalah belajar dengan: (1)
isyarat (signal), (2) stimulus respons, (3) rangkaian gerak (motor chaining), (4) rangkaian verbal (verbal chaining), (5)
memperbedakan (discrimination learning), (6) pembentukan konsep (concept formation), (7) pembentukan aturan (principle
formation) dan (8) pemecahan masalah (problem solving) (Ruseffendi, 1988). Terdapat 2 di antara 8 tipe belajar yang
dikemukakan oleh Gagne yang erat kaitannya dengan pendekatan pengajuan masalah matematika, yaitu: (1) rangkaian verbal
(verbal chaining) dan (2) pemecahan masalah (problem solving).

Rangkaian verbal (verbal chaining)

Rangkaian verbal dalam pembelajaran matematika dapat berarti mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan konsep,
simbol, definisi, aksioma, lemma atau teorema, dalil atau rumus. Sedangkan pengertian rangkaian verbal itu sendiri
menurut Ruseffendi (1988) adalah perbuatan lisan terurut dari dua rangkaian kegiatan atau lebih stimulus respons. Dengan
memperhatikan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa tipe belajar rangkaian verbal dapat mengantarkan siswa dalam
mengaitkan antara skemata yang telah dimiliki siswa dengan unsur-unsur dalam matematika yang akan dipelajarinya.

8

Pemecahan Masalah (Problem solving)

Pengajuan masalah merupakan langkah kelima setelah empat langkah Polya dalam pemecahan masalah matematika
(Gonzales, 1996). Berkaitan dengan pandangan ini, Brown dan Walter (1993) menjelaskan bahwa dengan melihat tahap-
tahap kegiatan antara pengajuan dan pemecahan masalah, maka pada dasarnya pembelajaran dengan pengajuan masalah
matematika merupakan pengembangan dari pembelajaran dengan pemecahan masalah matematika. Dukungan lain mengenai
keeratan hubungan antara kedua pendekatan yang dimaksud di atas adalah tuntutan kemampuan siswa untuk memahami
masalah, merencanakan dan menjalankan strategi penyelesaian masalah. Ketiga langkah tersebut juga merupakan langkah-
langkah dalam pembelajaran dengan pendekatan pengajuan masalah matematika (Silver et al., 1996). Selain itu, Cars (dalam
Sutawidjaja, 1998) menegaskan bahwa untuk meningkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah matematika, maka
salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan jalan membiasakan siswa mengajukan masalah, soal, atau pertanyaan
matematika sesuai dengan situasi yang diberikan oleh guru

8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar